A.
Aplikasi Teori Belajar Kognitif
Hakekat
belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang
berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses
internal. Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini
sudah banyak digunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan
strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana dilakukan
dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam
proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa.
Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Siswa
bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya. Mereka
mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2.
Anak
usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik,
terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
3.
Keterlibatan
siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena dengan hanya mengaktifkan
siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat
terjadi dengan baik.
4.
Untuk
menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman
atau informasi baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki si belajar.
5.
Pemahaman
dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan
pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6.
Belajar
memahami akan lebih bermaknsa daripada belajar menghafal. Agar bermakna,
informasi baru harus disesuaikan dandihubungkan dengan pengetahuan yang
telahdimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang
sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
7.
Adanya
perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini
sangat mempengaruhi keberhasilan belajra siswa. Perbedaan tersebut misalnya
pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dan sebagainya.
B.
Aplikasi Teori Belajar Sosial Moral
Menurut pandangan pemikir islam yang terkenal pada abad ke-14
yaitu Ibnu Khaldun bahwa perkembangan anak-anak hendaklah diarahkan dari
perkara yang mudah kepada perkara yang lebih sulit mengikuti
peringkat-peringkat dan anak-anak hendaklah diberikan dengan contoh-contoh yang
konkrit yang dapat difahami melalui pancaindera. Menurut Ibnu Khaldun,
anak-anak hendaklah diajari dengan lemah lembut dan bukannya dengan kekerasan.
Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa anak-anak tidak boleh dibebani dengan
perkara-perkara yang di luar kemampuan mereka, karena hal tersebut akan
menyebabkan anak-anak tidak mau belajar dan memahami pengajaran yang disampaikan.
Prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku sosial dan moral
pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan
perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan hadiah (reward) dan hukuman (punishment).
Dasar pemikirannya, sekali seorang peserta didik mempelajari perbedaan antara
perilaku-perilaku yang menghasilkan hadiah (reward) dengan
perilaku-perilaku yang mengakibatkan hukuman (punishment), sehingga dia
bisa memutuskan sendiri perilaku mana yang akan dia perbuat. Komentar orang
tua/guru: ketika menghadiahi/menghukum peserta didik merupakan faktor yang
penting untuk proses penghayatan peserta didik tersebut terhadap moral baku
(patokan-patokan moral). Orang tua dan guru diharapkan memberi penjelasan agar
peserta didik tersebut benar-benar paham mengenai jenis perilaku mana yang
menghasilkan ganjaran dan jenis perilaku mana yang menimbulkan sangsi. Reaksi-reaksi
seorang peserta didik terhadap stimulus yang ia pelajari adalah hasil dari
adanya pembiasaan merespons sesuai dengan kebutuhan. Melalui proses pembiasaan
merespons (conditioning) ini, akan timbul pemahaman bahwa ia dapat
menghindari hukuman dengan memohon maaf yang sebaik-baiknya agar kelak
terhindar dari hukuman.
Di sisi lain, orang tua dan guru diharapkan memainkan peran
penting sebagai seorang model/tokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial
dan moral bagi peserta didik. Misalnya, seorang peserta didik mengamati model
gurunya sendiri yang sedang melakukan sebuah perilaku sosial, seperti menerima
tamu, lalu perbuatan menjawab salam, berjabat tangan, beramah-tamah, dan
seterusnya yang dilakukan model itu diserap oleh memori peserta didik tersebut.
Diharapkan, cepat/lambat peserta didik tersebut mampu meniru sebaik-baiknya
perbuatan sosial yang dicontohkan oleh model itu. Kualitas kemampuan peserta
didik dalam melakukan perilaku sosial hasil pengamatan terhadap model tersebut,
antara lain bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman
yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari model tadi.
Selain itu, tingkat kualitas peniruan tersebut juga bergantung pada persepsi
peserta didik yaitu siapa yang menjadi model. Semakin piawai dan berwibawa
seorang model, semakin tinggi pula kualitas peniruan perilaku sosial dan moral
peserta didik tersebut. Jadi dalam belajar sosial, anak belajar karena contoh
lingkungan. Interaksi antara anak dengan lingkungan akan menimbulkan pengalaman
baru bagi anak-anak. Sebagai contoh keagresifan anak mungkin saja disebabkan
oleh tayangan kekerasan dalam film-film laga di Televisi. Cara memakai baju
dari para siswa yang ketat, tidak rapi, gaya bicara yang prokem mungkin juga
akibat nonton tayangan sinetron di televisi. Anak-anak yang konsumerisme/suka
jajan mungkin juga pengaruh lingkungan yang memberikan contoh konsumerisme.
Bagaimanapun, orang tua dan guru harus dapat memberikan contoh dan panutan bagi
anak-anak dalam menghadapi berbagai interaksi sosial dan moral di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar